Sabtu, 11 Mei 2024

Dekarbonisasi Pada Industri Baja Bagian 2 : Arang sebagai bahan bakar dan reduktor di Blast Furnace

Pada dasarnya kondisi setiap industri baja bervariasi sehingga proses dekarbonisasi juga dilakukan dengan rute yang berbeda-beda dan bertahap untuk mencapai kondisi nett zero emission. Kondisi setiap industri baja memiliki konfigurasi unik teknologi produksinya, bahan baku dan sumber energi, kapasitas dan yield, persyaratan peraturan dan sebagainya. Untuk mencapai Net-zero pada tahun 2050 maka sejumlah hal perlu dilakukan seperti efisiensi penggunaan bahan baku, meningkatkan porsi reuse dan recycling, retrofit dan advanced technology, dan terutama yakni berupaya menggunakan sumber energi terbarukan sebagai bahan bakar dan reduktor pada industri besi dan baja tersebut. Tetapi faktanya pembangunan blast furnace – basic oxygen furnace (BF -BOF) masih banyak dilakukan, yang seharusnya adalah EAF (Electric Arc Furnace) atau saat ini hanya sekitar 30% secara global industri besi dan baja menggunakan EAF ini , tetapi ada upaya transisi bisa dilakukan seperti diuraikan dibawah ini. Transisi tersebut dipengaruhi oleh permintaan dari pasar, intervensi kebijakan, dan insentif diberikan kepada produsen untuk mengurangi emisi pada produksi baja tersebut. 

Untuk membuat kebijakan-kebijakan terkait transisi tersebut, pemberian insentif penurunan emisi untuk produsen dan menciptakan permintaan pasar untuk “green steel” maka sangat diperlukan definisi yang jelas antara emisi rendah (low emission) vs. emisi hampir nol (near zero emissions) vs emisi nol emisi (net-zero emissions)  Diperkirakan pada tahun 2021 emisi gas CO2 dari industri ini adalah 3,8 Gt secara global (hal ini pun emisi metana dari penambangan batubaranya belum diperhitungkan). Sedangkan untuk kondisi Net-zero 2050, emisi CO2 langsung dari industri besi dan baja global harus diturunkan menjadi 1,8 Gt CO2 pada 2030 dan 0,2 Gt pada 2050. Terlihat masih perlu banyak upaya keras untuk mencapai target tersebut, bahkan dengan kondisi saat ini banyak yang pesimis. 

Salah satu pemanfaatan biomasa sebagai bahan bakar carbon neutral pada industri besi dan baja adalah penggunaan arang sebagai bahan bakar dan reduktor. Biomasa seperti kayu harus dikarbonisasi atau dipirolisis untuk menjadi arang tersebut. Penggunaan arang pada blast furnace selain menurunkan emisi karbondioksida (CO2), juga emisi sulfurdioksida (SO2) karena kandungan sulfur dari arang sangat rendah (sekitar 100 kali lebih rendah) dibandingkan kokas (coke). Begitu juga penggunaan batu kapur (limestone) akan berkurang sehingga produksi slag otomatis juga berkurang. Demikian juga membuat operasi blast furnace bersifat asam. 

Disamping sejumlah keuntungan yang didapat seperti diatas ternyata ada kekurangan penggunaan arang pada blast furnace yakni pada blast furnace besar yang menyebabkan operasionalnya bermasalah karena kekuatan (strength) arang biasanya lebih rendah dibanding kokas. Sebagai solusinya yakni ada tiga metode penggunaan arang pada proses blast furnace. Pertama, dengan pulverized charcoal injection (PCI). Dengan metode ini arang harus dihancurkan menjadi bubuk lembut dan dinjeksikan ke dalam blast furnace. Kedua, dengan bubuk arang yang dicampurkan bubuk kokas menjadi pellet atau briket yang disebut charcoke. Dengan dibuat charcoke ini kekuatannya menjadi mencukupi untuk penggunaan pada blast furnace konvensional. Dan ketiga, dengan menggantikan kokas dengan arang bongkahan (lump charcoal) untuk blast furnace kapasitas kecil (inner volume 60 – 550m3). Pada blast furnace kapasitas kecil tekanan kompresi pada tiap partikel arang jauh lebih kecil dibandingkan dengan blast furnace kapasitas besar. Sintering dan pelletisation tidak dibutuhkan dalam hal ini. 

Kebun energi atau kebun biomasa bisa dibuat khusus sebaga pemasok bahan baku untuk produksi arang tersebut. Kebun energi tersebut juga akan menyerap karbon dari atmosfer (carbon sink) dengan volume tertentu. Volume karbon dari atmosfer tersebut bisa dijaga sedemikian rupa sehingga fungsi sebagai penyerap karbon bisa dilakukan, yakni dengan cara jumlah kayu yang dipanen untuk produksi arang tidak boleh melebihi kecepatan tumbuh biomasa kayunya. Dengan cara ini maka kebun energi tidak boleh habis sekali panen tetapi berkesinambungan dengan dipertahankan volume atau luasannya. 

Dengan teknologi pirolisis kontinyu maka produksi arang akan bisa dioptimalkan. Dengan teknologi pirolisis kontinyu tersebut selain kapasitas produksi arang besar, juga dihasilkan produk samping yang multi-manfaat seperti produk gas yang bisa digunakan sebagai sumber energi demikian juga biooil. Biooil juga bisa dimanfaatkan sebaga bahan baku di industri kimia. Produksi arang puluhan hingga ratusan ton per hari juga memungkinkan dengan teknologi pirolisis kontinyu. 

Dan khususnya di Indonesia sebagai pemilik perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia yakni diperkirakan mencapai lebih dari 15 juta hektar dan dengan pabrik sawitnya mencapai sekitar 1000 unit banyak limbah sawit yang bisa dimanfaatkan khususnya tandan kosong sawit atau EFB (empty fruit bunch). Potensi produksi arang dari EFB tersebut juga sangat besar. Selain itu juga sebaga produsen batubara terbesar no 5 di dunia dengan produksi berkisar 570 juta ton per tahun, maka batubara juga perlu diolah menjadi kokas. Arang dari tandan kosong atau EFB tersebut bisa dibuat bubuk untuk PCI atau menjadi charcoke dengan dipadatkan yakni dibuat pellet atau briket dengan kokas.

Sabtu, 27 April 2024

Pengolahan Limbah Kelapa Muda : Dibriket atau Dipelletkan saja!

Ketika cuaca sangat panas seperti akhir-akhir ini, minum air kelapa sangat menyegarkan. Hal ini karena air kelapa selain untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh juga memenuhi kebutuhan elektrolit (mineral bermuatan ion yang terdapat dalam sel, jaringan, dan cairan tubuh) yang sangat dibutuhkan tubuh. Elektrolit ini berperan dalam mendukung aktivitas sel dan jaringan tubuh serta menjaga keseimbangan kadar cairan tubuh. Saat tubuh kehilangan elektrolit akibat aktivitas fisik atau dehidrasi, mengonsumsi air kelapa dapat membantu menggantikan elektrolit yang hilang dan memulihkan keseimbangan cairan tubuh. Penjual-penjual es kelapa muda banyak bertebaran apalagi di kota-kota besar. Selain dijual dalam gelas, air kelapa muda tersebut juga dijual dalam bentuk kelapa muda utuh. Paduan dengan daging buah kelapa mudanya menambah lezat minuman tersebut. Tetapi ternyata limbah dari kelapa muda tersebut banyak mencemari dan belum diolah atau dimanfaatkan dengan semestinya. Volume limbah kelapa muda tersebut cukup banyak, bahkan seperti di kota Makassar diperkirakan ada 15 ton/hari limbah kelapa muda tersebut. 

 

Limbah kelapa muda tersebut bisa diolah menjadi briket ataupun pellet. Teknologi pemadatan biomasa (biomass densification) tersebut cocok diterapkan untuk solusi limbah kelapa muda tersebut. Limbah kelapa muda tersebut perlu dikecilkan ukurannya (size reduction) yakni dengan shredder dan hammer mill selanjutnya dikeringkan dengan mesin pengering (dryer) sebelum dipadatkan menjadi briket dengan mesin briket atau menjadi pellet dengan pelletiser (mesin pellet). Dengan dibriket ataupun dipelletkan limbah tersebut bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar atau sumber energi bagi UKM ataupun boiler di industri. Banyak UKM atau industri pengolahan yang bisa memanfaatkan bahan bakar tersebut selain ramah lingkungan, juga mudah dalam penggunaannya. Tungku-tungku sederhana bisa dikembangkan untuk penggunaan briket dan pellet tersebut.  

Indonesia terkenal dengan negeri rayuan pulau kelapa. Hal ini karena begitu luasnya perkebunan kelapa di Indonesia yang mencapai sekitar 3,7 juta hektar dengan sebagian besar merupakan perkebunan rakyat. Luasnya perkebunan kelapa tersebut menempatkan Indonesia sebagai pemilik perkebunan kelapa terluas di dunia. Pohon kelapa terutama tumbuh di sepanjang pantai, dan memang Indonesia juga memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, setelah Kanada.  

Jumat, 26 April 2024

Beli Wood Pellet atau PKS (Palm Kernel Shell) ?

Kebutuhan bahan bakar biomasa sebagai upaya dekarbonisasi karena merupakan bahan bakar terbarukan yang netral karbon semakin meningkat. Dua bahan bakar biomasa yang populer di dunia dan bersaing ketat yakni wood pellet dan cangkang sawit (PKS / palm kernel shell). Pada kondisi biasa atau tidak terjadi lonjakan permintaan harga wood pellet biasanya lebih mahal dibandingkan PKS. Hal ini bisa dimaklumi karena produksi wood pellet membutuhkan upaya lebih dibandingkan PKS. Produksi wood pellet membutuhkan sejumlah peralatan dengan investasi yang mahal, sedangkan PKS hanya membutuhkan minim peralatan yakni hanya mesin screening / ayakan saja.  

Tetapi bagaimana jika harga wood pellet dan PKS hampir sama atau bahkan PKS malah lebih mahal ? Hal ini bisa terjadi karena beberapa faktor yakni pertama, pengaruh permintaan pasar. Tingginya permintaan pasar khususnya PKS dari Indonesia dan Malaysia membuat suplai berkurang atau tidak memadai.  Produksi PKS di Indonesia dan Malaysia memang jauh lebih besar dibandingkan produksi wood pellet dari kedua negara tersebut. Selain volume produksinya lebih besar, faktor berupa ketersediaan dan kontinuitasnya (keamanan suplai jangka panjang) lebih bisa dijamin dibanding wood pellets. Hal ini karena diperkirakan ada 1500 pabrik sawit di Indonesia dan Malaysia yang menghasilkan PKS tersebut yang merupakan produk samping atau limbah pabrik sawit tersebut. Hal ini memungkinan terjadinya kontrak panjang antara penjual atau suplier (exporter) dengan pembeli yang biasanya bukan end user tetapi perusahaan dagang (trading company) di Jepang dan Korea. 

Loading PKS untuk export dengan transhipment (ship to ship)

Faktor kedua adalah pungutan dan pajak (tax & levy). Export PKS di Indonesia dikenakan pungutan dan pajak yang nilainya berkorelasi dengan harga minyak mentah sawit. Hal ini karena PKS di Indonesia dimasukkan dalam kategori produk turunan sawit sedangkan di Malaysia tidak dikenakan pungutan dan pajak tersebut, karena PKS di Malaysia dimasukkan ke dalam kategori limbah sawit. Ketika pungutan dan pajak tersebut sedang tinggi, maka otomatis harga PKS juga akan menjadi mahal. Faktor pungutan dan pajak ini adalah hal yang tidak bisa dikontrol oleh para exporter PKS. Melalui organisasi APCASI (Assosiasi Pengusaha Cangkang Sawit Indonesia) mereka memperjuangkan supaya pungutan dan pajak lebih terukur atau lebih murah bahkan kalau bisa ditiadakan seperti di Malaysia. 

Pada dasarnya pembeli akan membeli barang sebagus mungkin dengan harga semurah mungkin, atau barang berkualitas lebih baik tetapi harga lebih murah. Kualitas wood pellet lebih baik dibandingkan PKS yakni dalam hal nilai kalor, kadar abu, keseragaman bentuk serta kadar air. Tetapi  karena faktor volume dan kontinuitasnya (keamanan suplai jangka panjang) yang sering atau masih banyak diragukan sehingga pilihan ke PKS tetap dilakukan. Untuk mengatasi hal tersebut maka produksi wood pellets harus memenuhi kapasitas produksi dengan sumber pasokan bahan baku yang bisa diandalkan. Produksi wood pellet dari kebun energi adalah solusinya. 

Dengan bahan baku kayu dari kebun energi sehingga pasokan bahan baku akan lebih stabil, tidak seperti halnya yang mengandalkan dari mengumpulkan limbah-limbah kayu dari penggergajian kayu (sawmill) atau industri-industri pengolahan kayu. Dengan luas hutan produksi Indonesia mencapai puluhan juta hektar tentu lahan bukan menjadi persoalan dalam produksi wood pellet tersebut. Sentra-sentra produksi wood pellet tersebut bisa dibuat di lahan-lahan hutan produksi tersebut, untuk lebih detail bisa baca disini.   

Senin, 15 April 2024

Bisnis Protein Pakan Ternak dari Produk Samping Pabrik Sawit

Pakan ternak adalah mata rantai pangan bagi manusia. Kebutuhan pakan juga akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk atau populasi manusia. Bahkan sejumlah perusahaan pakan ternak memiliki pabrik-pabrik pakan ternak dengan kapasitas produksi sangat besar atau jutaan ton setiap tahunnya, untuk lebih detail baca disini. Diprediksi populasi manusia akan berjumlah 9 milyar jiwa pada 2050. Sembilan milyar orang yang diprediksi tinggal di planet bumi tahun 2050 tersebut, butuh tambahan protein 250 juta ton per tahun atau naik 50% dibandingkan hari ini. Kebutuhan protein tersebut akan bisa dipenuhi salah satunya dari sektor peternakan dan supaya industri peternakan bisa mencapai targetnya maka dibutuhkan industri pakan ternak.

Tidak hanya untuk manusia, protein juga merupakan salah satu unsur utama bagi pakan ternak dan diantara unsur-unsur pakan ternak protein paling mahal. Hal inilah mengapa produksi protein untuk pakan ternak merupakan hal penting bagi industri pakan pada khususnya atau industri peternakan pada umumnya. Dunia khususnya Eropa kekurangan unsur protein pakan ternak tersebut. Hal inilah mengapa ada organisasi di Eropa yang mendorong penggunaan serangga sebagai sumber protein pakan tersebut yakni IPIFF (International Platform of Insects for Food and Feed). Jenis serangga yang diijinkan untuk dikembangbiakkan oleh komisi Eropa untuk maksud tersebut meliputi hanya 7 spesies serangga yakni 3 jenis jangkrik, 2 jenis ulat dan 2 jenis lalat. Selain telah menentukan dan melegitimasi beberapa jenis serangga tersebut, ternyata protein dari serangga tersebut tidak 100% untuk pakan ternak, tetapi sekitar 30% untuk pangan yang dikonsumsi manusia. 

Bungkil sawit (PKE / Palm Kernel Expeller)  adalah produk samping atau limbah dari pabrik minyak kernel sawit atau PKO (palm kernel oil) dengan kandungan protein berkisar 15%. Dibandingkan pabrik CPO, pabrik PKO lebih sedikit. Hal ini karena tidak semua pabrik CPO juga memiliki pabrik PKO. Diperkirakan perbandingan pabrik CPO berbanding pabrik PKO adalah 10 : 1. Dengan jumlah pabrik CPO di Indonesia saat ini sekitar 1.000 unit maka jumlah pabrik PKO diperkirakan hanya 100 unit. Bungkil sawit ini sangat potensial digunakan sebagai pakan maggot. Budidaya maggot dari bungkil sawit akan menghasilkan maggot kualitas premium. Dengan kandungan utama protein (~ 45%) maka maggot akan menjadi sumber protein pakan berkualitas tinggi. Sedangkan apabila budidaya maggot tersebut menggunakan lumpur sawit (palm oil sludge) atau bagian dari limbah cair pabrik CPO maka kualitas maggot yang dihasilkan tidak sebaik apabila diberi pakan dari bungkil sawit. Akan tetapi dengan banyaknya pabrik CPO maka potensi produksi maggot dari lumpur sawit ini juga tidak kalah besar. 

Produk-produk yang bisa dihasilkan dari peternakan maggot ini antara lain maggot kering, tepung maggot, dan minyak maggot, serta produk samping berupa kotorannya. Produk-produk dari maggot berupa maggot kering,minyak maggot dan tepung maggot adalah bahan pakan untuk unggas, ikan dan hewan peliharaan. Produksi pakan dunia diperkirakan sekitar 1 milyar ton setiap tahunnya dengan komposisinya sebagai berikut yakni, produksi pakan unggas diperingkat pertama dengan porsi 45% atau hampir setengah produksi pakan dunia, disusul urutan kedua pakan babi 11%, ketiga ruminansia 10% dan sisanya lain-lain seperti pakan ikan, binatang peliharaan dan kuda. Negara-negara besar produsen pakan ternak dunia yakni China dengan porsi mencapai 19,6% disusul sejumlah negara yakni Amerika dengan 17,4%, Brazil 6,8% lalu negara-negara seperti Mexico, Spanyol, India, Russia, Jepang dan Jerman juga merupakan produsen-produsen besar pakan ternak. sisanya oleh negara-negara seluruh dunia. 

Kotoran maggot yang merupakan produk samping atau limbah dari peternakan maggot tersebut bisa digunakan sebagai pupuk organik yakni pupuk organik padat dan pupuk organik cair. Penggunaan pupuk tersebut bisa digunakan pada berbagai perkebunan dan pertanian termasuk juga pada perkebunan sawit itu sendiri. Dan bahkan akan lebih baik lagi apabila pupuk organik tersebut ditambahkan atau diperkaya biochar sehingga menjadi pupuk lepas lambat (slow release fertilizer) dan meningkatkan efisiensi penggunaan haranya (NUE : Nutrient Use Efficiency). 

Jumat, 05 April 2024

Bisnis Utilitas untuk Pabrik Sawit

Ketika prioritas untuk mendapatkan keuntungan maksimal, pengelolaan lingkungan yang baik dan kemudahan, efisiensi serta stabilitas produksi menjadi pilihan, maka bisa jadi masalah atau urusan utilitas pada pabrik sawit dikerjasamakan dengan pihak lain. Spesialisasi tersebut menjadi penting karena pilihan prioritas di atas. Masalah utilitas yang dimaksud adalah listrik dan kukus (steam). Listrik dihasilkan dari steam turbine dan steam dihasilkan dari boiler. Steam tekanan tinggi masuk steam turbine untuk menggerakkan generator dan menghasilkan listrik dan steam tekanan rendah output dari steam turbine digunakan untuk proses sterilisasi TBS. Pengolahan air (water treatment) untuk umpan boiler juga bagian dari masalah utilitas tersebut, demikian juga untuk operasional boiler hingga menghasilkan output berupa listrik dan steam tersebut. 

Terkait kerjasama atau model bisnisnya pabrik sawit bisa membayar untuk listrik dan steam yang diterimanya. Tetapi karena bahan bakar atau energi untuk menghasilkan listrik dan steam berasal dari pabrik sawit maka tentu saja harganya lebih murah. Apabila saat ini hampir semua pabrik sawit menggunakan bahan bakar boilernya dari sabut (mesocarp fibre) dan cangkang sawit (palm kernel shell), maka dengan spesialisasi ini maka bisa saja sabut dan tandan kosong sawit yang digunakan sebagai bahan bakar atau sumber energi sedangkan cangkang sawit bisa 100% dijual bahkan dieksport. Cangkang sawit sebagai bahan bakar biomasa memang bisa langsung dijual dan banyak peminat, dan juga merupakan pesaing utama wood pellet di pasar global bahan bakar biomasa. 

Dengan kondisi tersebut maka ada upaya peningkatan efisiensi produksi utilitas seperti steam dan listrik seoptimal mungkin, bahkan tidak hanya teknologi pembakaran dengan static grate, moving grate, reciprocating grate hingga fluidized bed, tetapi bahkan juga dimungkinkan penggunaan pyrolysis. EFB atau tandan kosong sawit yang sebelumnya banyak tidak diolah dan menjadi masalah lingkungan bisa menjadi sumber energi potensial sehingga 100% cangkang sawit / pks dari pabrik sawit bisa dikomersialisasi / dijual. Dan bahkan apabila penyedia utilitas tersebut menggunakan pirolisis maka akan didapat juga biochar. Biochar banyak memberi keuntungan terkait kesuburan tanah dan iklim.

Kamis, 04 April 2024

Meng-upgrade Industri Sawit di Indonesia

Dengan luas perkebunan sawit Indonesia yang mencapai sekitar 15 juta hektar dan pabrik sawitnya mencapai 1000 unit, maka upaya meng-upgrade industri sawit menjadi penting dan strategis. Produksi minyak sawit atau CPO Indonesia per tahun sekitar 46 juta ton (sedangkan Malaysia di urutan kedua sekitar 19 juta ton/tahun).  Upaya meng-upgrade industri sawit tersebut akan meningkatkan produktivitas / efisiensi, sustainability dan mendorong penciptaan produk/pasar baru serta nilai tambah kelapa sawit. Hal-hal yang bisa diupgrade meliputi sejumlah bidang kunci antara lain bioenergi, biomaterial dan oleokimia, pangan dan pakan, kesuburan tanah (lahan, tanah dan budidaya), pasca panen dan pengolahan, pengolahan limbah dan lingkungan serta  sosial ekonomi, manajemen dan bisnisnya. 

Salah satu hal konkrit yang bisa dilakukan adalah produksi biochar dari limbah pabrik sawit khususnya tandan kosong sawit (empty fruit bunch) dan sabut sawit (mesocarp fiber). Produksi biochar dengan pirolisis akan menghasilkan excess energy (syngas & biooil) yang bisa digunakan sebagai bahan bakar boiler pada pabrik sawit. Selanjutnya aplikasi biochar dengan pupuk pada perkebunan sawit akan menjadi slow release fertilizer (SRF) sehingga  meningkatkan efisiensi penggunaan nutrisi (NUE/nutrient use efficiency). Kondisi banyaknya perkebunan sawit yang berada pada tanah masam juga akan menjadi meningkat pH -nya ketika ada aplikasi biochar tersebut. 

Pada operasional perkebunan sawit, pupuk adalah komponen biaya tertinggi sehingga apabila bisa meningkatkan efisiensi pupuk akan memberi keuntungan signifikan. Penggunaan biochar menjadi solusinya, yakni dengan SRF tersebut. SRF juga meminimalisir pencemaran lingkungan akibat pemakaian pupuk. Sedangkan pada operasional pabrik sawit energi adalah komponen vitalnya, dan apabila ini bisa memaksimalkan penggunaan limbah yang tidak punya nilai ekonomis tentu akan sangat ekonomis selain tentu saja mengatasi masalah lingkungan akibat limbah tersebut. Saat ini untuk bahan boiler pabrik sawit menggunakan sabut sawit dan sebagian cangkang sawit (PKS/palm kernel shell) sedangkan umumnya tandan kosongnya belum dimanfaatkan, padahal cangkang sawit ini bisa langsung dijual dan laku keras. Hal ini sehingga apabila sumber energi hanya berasal dari sabut sawit dan tandan kosong maka 100% cangkang sawit bisa dijual. Hal tersebut bisa dilakukan dengan pirolisis.

Biochar di dalam tanah mampu bertahan ratusan bahkan ribuan tahun. Biochar yang berasal dari limbah pertanian seperti tandan kosong dan sabut sawit tersebut akan menjadi carbon sink melalui simpanan karbon (carbon sequestration), sehingga konsentrasi CO2 di atmosfer berkurang sepanjang biochar tidak terdekomposisi. Dari perspektif iklim hal ini sangat bermanfaat dan nantinya bisa mendapatkan kompensasi berupa carbon credit. Sejumlah standar dan metode verifikasi-nya untuk memudahkan monetisasinya sedang dikembangkan saat ini.

Tandan kosong dan sabut sawit adalah limbah dari pabrik sawit sedangkan aplikasi biochar di perkebunan sawit. Manajemen pada industri sawit pada umumnya memisahkan antara divisi pabrik dan divisi kebunnya sehingga perlu cara pengelolaan baru apabila produksi biochar dengan pirolisis ini dilakukan. Selain penggunaan biochar tersebut untuk kebun inti, penggunaannya juga bisa untuk kebun plasma. 

Minggu, 31 Maret 2024

Biofuel atau Kendaraan Listrik dulu ?

Trend dekarbonisasi terus berlanjut dan merambah hampir semua lini termasuk sektor transportasi. Pada sektor transportasi ada 2 hal yang bisa dilakukan yakni penggunaan bahan bakar dari energi terbarukan atau biofuel dan penggunaan kendaraan bebas emisi seperti kendaraan listrik. Pada kendaraan dengan energi terbarukan atau biofuel 100% maka emisi yang dihasilkan adalah karbon netral (walaupun emisinya mengandung CO2) sedangkan pada kendaraan listrik tidak menghasilkan emisi sama sekali karena tidak ada proses pembakaran pada operasional kendaraan listrik tersebut.

Saat ini mayoritas kendaraan adalah kendaraan berteknologi mesin pembakaran dalam (internal combustion engine) sehingga menggunakan bahan bakar untuk operasionalnya dan bahan bakar yang paling banyak digunakan adalah bahan bakar dari fossil khususnya yang berbentuk cair atau bahan bakar cair. Untuk mencapai kondisi karbon netral maka bahan bakar tersebut harus digantikan dengan biofuel 100%. Tetapi saat ini walaupun penggunaan biofuel tersebut sudah dilakukan tetapi porsinya belum 100%. Memang secara teknis ada pembatas untuk pemakaian biofuel sehingga tidak bisa 100% seperti bioethanol sehingga hal ini juga menjadi perhatian tersendiri. Walaupun begitu tentu upaya penggunaan biofuel 100% tentu juga akan menjadi target utama, selain faktor emisi sehingga mencapai kondisi karbon netral juga teknologi mesin pembakaran dalam yang memang mayoritas sehingga hanya perlu modifikasi minor atau bahkan tanpa modifikasi sama sekali. 

Fakta lainnya adalah kendaraan listrik saat ini juga sebagian besar masih menggunakan sumber energi listrik dari pembangkit listrik dari fossil fuel khususnya batubara. Walaupun kendaraan listrik tersebut nir-emisi tetapi pada dasarnya sumber energinya adalah energi fossil, hanya lokasinya saja yang berjauhan. Mobil listrik sebagai produk baru juga harganya umumnya lebih mahal bahkan bisa dua kali lipat atau lebih dari mobil pada umumnya. Kondisi ini juga mempengaruhi jumlah penggunaan mobil atau kendaraan listrik itu sendiri. 

Indonesia sebagai negara tropis memiliki potensi sangat besar sebagai produsen biofuel tersebut karena berbagai tanaman atau pohon bisa tumbuh dengan baik. Walaupun kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati terbesar saat ini dan Indonesia menempati peringkat pertama di dunia dengan luas kebun perkebunan sawitnya mencapai sekitar 15 juta hektar, tetapi minyak dari kelapa sawit ini bersaing (kompetisi) dengan minyak makan (edible oil) dan biaya perawatan yang tidak murah. Sedangkan minyak nabati dari pohon energi seperti nyamplung (calophyllum inophyllum) selain produktivitas minyaknya tidak kalah dengan minyak sawit, juga minyaknya tidak berkompetisi dengan minyak makan, lebih detail baca disini. Selain itu pohon nyamplung tersebut yang tumbuh baik pada area dekat pesisir pantai juga memberi keuntungan tersendiri yakni karena Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada yakni 99.093 km dan juga pohon nyamplung tersebut juga pohon serbaguna. Sedangkan biofuel dari limbah-limbah biomasa juga bisa dilakukan tetapi karena biaya produksi masih mahal, maka masih perlu sejumlah tahapan untuk implementasinya.  

Dengan kondisi tersebut seharusnya pengembangan biofuel khususnya dari pohon seperti nyamplung ini diprioritaskan. Sedangkan kendaraan listrik meskipun bebas emisi tetapi sumber listriknya masih menggunakan bahan bakar fossil. Upaya mengurangi bahan bakar fossil pada pembangkit listrik dengan cofiring sudah dilakukan tetapi porsinya masih sangat kecil, sehingga manfaat iklim belum signifikan. Apabila sumber energi listriknya bisa 100% dari energi terbarukan maka penggunaan kendaraan listrik juga bisa dikatakan seperti penggunaan 100% biofuel pada mesin pembakaran dalam (Internal Combustion Engine). 

Dekarbonisasi Pada Industri Baja Bagian 2 : Arang sebagai bahan bakar dan reduktor di Blast Furnace

Pada dasarnya kondisi setiap industri baja bervariasi sehingga proses dekarbonisasi juga dilakukan dengan rute yang berbeda-beda dan bertaha...